Minggu, 26 Januari 2014

MASALAH KEUANGAN DALAM SISTEM TATANAN NEGARA








 
Salah satu masalah keuangan yang paling sering kita dengar adaah mengenai Krisis Moneter yang terjadi pada akhir abad 20.

Krisis keuangan di Asia sendiri terjadi pada dasarnya bersumber dari kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Reformasi keuangan yang terjadi pada awal tahun 1980an ternyata hanya memberikan peningkatan kuantitas lembaga-lembaga keuangan dan kuantitas aliran modal yang masuk (capital inflow) ke suatu negara. Hal yang sama terjadi pula di Indonesia, khususnya dikaitkan dengan liberalisasi perbankan yang berawal
pada tahun 1988 yang merupakan salah satu faktor pemicu lemahnya sistem keuangan, khususnya perbankan. Terjadinya gejolak di pasar uang, pasar valas dan pasar modal
serta meningkatnya ketidakpastian (uncertainty) dapat mengakibatkan semakin memburuknya
adverse selection dan moral hazard
yang pada gilirannya mengakibatkan
runtuhnya kestabilan sektor keuangan.
Untuk kasus Indonesia, gejolak nilai tukar negara-negara regional memiliki pengaruh paling utama yang menyebabkan terjadinya krisis yang berkepanjangan. Kuatnya tekanan
terhadap rupiah mengakibatkan ketidakmampuan Bank Indonesia untuk menyangga pita intervensi (band intervention) yang ada sehingga sistem nilai tukar mengambang bebas
(Free floating system) menjadi salah satu alternatif sistem nilai tukar yang akhirnya dipilih untuk tetap menjaga cadangan devisa. Disamping sebagai dampak dari bergejolaknya nilai rupiah, sektor perbankan mengalami krisis yang sangat mendalam karena
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan.Hal tersebut semakin diperberat oleh lemahnya kondisi internal sektor perbankan, terutama sebagai dampak
dari konsentrasi kredit yang berlebihan, lemahnya manajemen bank,moral hazard yang timbul akibat mekanisme exit yang belum tegas serta belum efektifnya peagawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Secara keseluruhan, akibat dari krisis yang semakin mendalam telah memperburuk tidak saja aspek likuiditas perbankan, tetapi juga aspek solvabilitas dan rentabilitasnya
mengingat perbankan merupakan market dominan dalam industri keuangan di Indonesia,maka secara sistematis sektor Keuangan juga mengalami kelumpuhan. Krisis keuangan dan perbankan tersebut telah menyedot keuangan negara yang mencapai selatar 50%
dari PDB Indonesia, sehingga dapat dikategorikan terbesar dalam sejarah krisis keuangan. Biaya krisis tersebut tentu saja belum memperhitungkan dampak negatif krisis pada perekonomian secara keseluruhan akibat hilangnya perlu pertumbuhan ekonomi,investasi dan tingkat pengangguran,social cost
lainnya akibat terjadinya instabilitas social politik sebagai dampak ikutan di saat krisis terjadi.
1 Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl. tanggal 14-18 Juli di
Denpasar.
2 Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
Mempertimbangkan dampak dan biaya / kerugian yang demikian besar terhadap perekonomian akibat instabilitas sistem keuangan tersebut serta langkah-langkah penyelesaian krisis (crisis resolution) yang juga membutuhkan waktu yang lama, maka
wacana menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi perhatian yang serius dari bank sentral dan pengambil kebijakan publik di berbagai negara dewasa ini. Di Indonesia, isu
stabilitas sistem keuangan tersebut kembali menguat setelah terjadinya krisis keuangan dan perbankan dalam tahun 1997-1998. Namun demikian, saat ini dipandang belum terdapat konsep pemikiran secara yuridis maupun institusional (legal and institutional framework) mengenai institusi-institusi yang bertanggung-jawab secara menyeluruh dalam menjaga stabilitas sistem keuangan tersebut.Mempertimbangkan cepat atau lambat isu stabilitas sistem keuangan ini akan menjadi permasalahan di Indonesia, berkaitan dengan pihak yang bertanggungjawab dan mekanisme pengendaliannya, maka paper ini akan mencoba membahas pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan saat ini dan di masa mendatang, serta beberapa isu dan agenda hukum di bidang keuangan perbankan yang membutuhkan perhatian.Dengan tema tersebut, organisasi paper akan dibagi dalam dikemukakan sebagai berikut:
Bagian II membahas mengenai urgensi dari stabilitas sistem keuangan khususnya dimulai dari fenomena asimetri informasi untuk memahami apa dan bagaimana stabilitas sistem
keuangan dan beberapa prasyarat; Bagian III mengenai agenda ke depan yang terkait dengan isu-isu di bidang hukum dalam pengaturan stabilitas sistem keuangan, dan Bab IV
sebagai kesimpulan dan penutup.

II. URGENSI MENJAGA STABILITAS SISTEM KEUANGAN
a. Asimetari Informasi : Sumber Instabilitas Sistem Keuangan
Telah dipahami bahwa sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian seiring dengan fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana. Apabila system keuangan tidak bekerja dengan baik, maka perekonomian menjadi tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak akan tercapai. Salah satu masalah krusial
dalam sistem keuangan yang dapat menjadi sumber instabilitas keuangan yakni menyangkut terjadinya asimetri / ketidaksamaan informasi (asymmetric information)
3 yakni suatu situasi dimana satu pihak yang terlibat dalam kesepakatan keuangan tidak memiliki informasi yang akurat dibanding pihak lain. sebagai contoh, peminjam (debitur) biasanya memiliki informasi yang lebih baik keuntungan dan kerugian potensial dari suatu proyek.Investasi yang direncanakan dibandingkan dengan pihak pemberi pinjaman (kreditur).Dengan demikian, kreditur tidak dapat membedakan antara pinjaman yang sehat dan
tidak sehat.Permasalahan asimetri informasi selanjutnya menyebabkan dua permasalahan pokok
yakni adverse selection
dan moral hazard.
Adverse selection
merupakan satu bentuk
masalah asimetri, informasi yang terjadi sebelum transaksi keuangan dilakukan karena peminjam dengan kualitas yang rendah (memiliki resiko kredit tinggi) biasanya akan mau
mencari pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi.
3
Frederic S. Mishkin dalam “Prudential Supervision Whal Works and What Doesn’t”, NBER Conference
Report. Chicago, The University of Chicago Press, 2001

Dari masalah adverse selection inilah sebagian besar dari pinjamannya biasanya merupakan Kredit bermasalah. Asimetri informasi ini juga menggambarkan dampak lanjutan dari krisis finansial pada perekonomian misalnya dalam kondisi suku bunga naik, mungkin berakibat pada
adverse selection sehingga mengakibatkan penurunan penawaran kredit oleh bank. Demikian pula
kondisi penurunan nilai agunan yang menyebabkan timbulnya debitur dengan net worth yang rendah. Akhirnya bila terjadi bank runs,bank yang sehat dapat memproteksi dirinya dengan mencadangkan lebih banyak likuiditas yang berakibat kontraksi dari sisi pemberian kreditnya.Permasalahan pokok yang lain adalah menyangkut moral hazard, yakni yang terjadi sesudah transaksi dilakukan dimana pemberi pinjaman berada dalam posisi yang menerima resiko atas dimana usaha yang dilakukan peminjam Moral hazard terjadi karena peminjam memperoleh keuntungan untuk mengalihkan proyeknya pada proyek yang beresiko tinggi yang tidak diinginkan oleh pemberi pinjaman yang apabila berhasil dapat memberikan keuntungan yang besar dan apabila gagal akan ditanggung oleh pemberi pinjaman dalam bentuk tidak kembalinya kredit yang diberikan.
Kerangka dari masalah asimetri informasi ini memegang peranan yang penting bagi institusi perbankan dan lembaga keuangan dan intermediasi lain khususnya yang memberikan kredit. Namun perbankan memiliki kelebihan-kelebihan khusus dibandingkan lembaga intermidasi. Ketika kualitas informasi mengenai debitur buruk, maka masalah asimetri informasi akan mengemuka yang nantinya dapat menjadi sumber ketidakstabilan
sistem keuangan. Oleh karena itu, dalam kerangka kestabilan sistem keuangan,keberadaan instrumen hukum diharapkan dapat meminimalisir asimetri informasi yang
terjadi dan paling tidak difokuskan pada 3 aspek pengaturan penting yakni:
(i) Mengatur semua transaksi pemindahan dana dari pihak-pihak/individu-individu dalam lembaga keuangan;
(ii) Mengatur perilaku (behaviour) individu-individu/pihak-pihak dalam lembaga keuangan; serta
(iii) Menyelesaikan konflik yang terjadi diantara pihak –pihak dalam lembaga keuangan secara efisien dan cepat. Dengan pengaturan pada ketiga cakupan aspek hokum tersebut diarahkan agar kestabilan sistem keuangan dapat tercapai.
b. Stabilitas Sistem Keuangan : Pengertian dan Prasyarat
Secara umum istilah financial stability
atau stabilitas keuangan telah dikenal banyak oleh pelaku ekonomi terutama pelaku pasar keuangan,namun demikian belum terdapat suatu kesepakatan umum mengenai apa yang dimaksud dengan stabilitas keuangan dimaksud
4. Namun pada prinsipnya, stabilitas keuangan berkaitan dengan 2 elemen,
4
Crockett, A, dalam “
Why Financial Stability a Goal of Public Policy
” (1997) menyatakan dalam sejak
beberapa tahun terakhir, istilah
financial stabilily menjadi semakin berkembang sehingga para ahli perlu untuk membedakan pengertian
monetery stability dengan financial stability. Monetery stability atau kestabilan moneter mengacu pada stabilitas harga (general price stability) dalam bentuk kestabilan
mata uang sedangkan finacial stability, mengacu kepada kestabilan institusi keuangan dan kestabilan
yaitu stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan, yang mencakup lembaga keuangan serta pasar keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya system keuangan.Jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik,
maka elemen lainnya akan terpengaruh. Misalnya, tingkat inflasi yang tinggi dapat membawa konsekuensi pada kebijakan uang ketat (tight money policy), peningkatan suku bunga, dan peningkatan kredit bermasalah, yang akhirnya memicu kegagalan bank dan lembaga keuangan lainnya dalam sektor keuangan. Sebaliknya, gangguan pada system keuangan akan mempengaruhi efektivitas transmisi kebijakan moneter dan tingkat harga
secara umum.Pertanyaannya adalah mengapa stabilitas keuangan merupakan isu yang sangat
penting? Stabilitas keuangan bukanlah merupakan suatu target akhir, namun lebih kepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi pertumbuhan perekonomian. Jika
lembaga-lembaga keuangan dan pasar keuangan yang berperan sebagai mediator keuangan berada dalam kondisi tidak stabil ataupun menghadapi ketidakpastian, maka
dapat dipastikan aktivitas perekonomian akan sulit berlangsung karena rendahnya aktivitas produksi, konsumsi maupun investasi. Disamping itu, dalam kondisi tingkat inflasi yang tinggi, akan sulit bagi perekonomian suatu negara untuk tetap kompetitif dalam menghadapi persaingan global. Mengingat cakupan sektor keuangan yang cukup luas,
maka tidak mudah untuk mendefinisikan suatu gambaran ideal stabilitas keuangan.
Namun, untuk mencapai kondisi sektor keuangan yang stabil paling tidak diperlukan beberapa prasyarat berikut:
(1) Lembaga Keuangan yang Sehat
Lembaga-Iembaga keuangan yang berkiprah dalam sistem keuangan berada dalam kondisi sehat dan stabil, dalam pengertian bahwa lembaga-lembaga tersebut diyakini dapat memenuhi seluruh kewajibannya tanpa dukungan / bantuan pihak luar
(eksternal). Pentingnya kesehatan lembaga keuangan, khususnya perbankan, dalam penciptaan sistem keuangan yang sehat mempunyai beberapa alasan antara lain: .
1. Keunikan karakteristik perbankan yang rentan terhadap serbuan masyarakat yang menarik dana secara besar-besaran (bank runs) sehingga berpotensi merugikan deposan dan kreditur bank;
2. Penyebaran kerugian diantara bank-bank sangat cepat melalui contagion effect sehingga berpotensi menimbulkan system problem;
3. Proses penyelesaian bank-bank bermasalah membutuhkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebagai perbandingan, persentase biaya terhadap PDB di negara-negara yang mengalami krisis sector perbankan (tabel);
4. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sebagai lembaga
intermediasi akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan (financial
distress) ;
pasar-pasar yang tergabung dalam pasar keuangan. Marcflame, Gubernur Reserve Bank Australia dalam “Financial Stability”. (1990) mengemukakan bahwa “financial stability is avoidance of crisis”.
Artinya stabilitas keuangan diartikan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis, dari dua definisi diatas dapat ditarik benang merah pengertian bahwa stabilitas keuangan terkait dengan ketiadaan krisis
keuangan (finacial crisis).



Pelemahan rupiah picu asing tarik investasi
Dana Aditiasari
Pelemahan rupiah picu asing tarik investasiSelasa,  15 Januari 2013  −  18:16 WIB

Sindonews.com - Semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US dolar memberi dampak pada iklim investasi. Salah satunya terlihat dari aliran dana asing yang masuk ke pasar obligasi Tanah Air.

"Pasti ada pengaruh. Kalau misalnya kita lihat selama ini, naiknya rate kurs rupiah/USD pasti akan men-triger (memicu) untuk adanya outflow (dana keluar/penarikan investasi) dari asing," terang Debt and Capital Market PT Trimegah Securities, Soni Pande di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Selasa (15/1/2013).

Penarikan dana asing tersebut, kata Soni, dikarenakan adanya asumsi kerugian akibat melemahnya kurs rupiah terhadap US dolar.

Menurut dia, pada umumnya, investor asing menanamkan dananya di Indonesia saat rupiah berada di level Rp9.100-9.200 per USD. Sehingga, adanya pelemahan kurs mengakibatkan adanya asumsi dana yang hilang dan mengakibatkan investor tersebut harus menarik dana mereka sebagai upaya menyelamatkan asetnya.

"Sebenarnya average itu mereka masuk antara Rp9.100-9.200. Itu average ketika mereka masuk ke Indonesia dulu. Kalau kursnya itu naik sampai Rp10.000, otomatis ada kerugian di kurs itu yang harus dijaga sebenarnya oleh Bank Indonesia (BI). Jangan sampai outflow terjadi terus," tegas Soni.

Sebelumnya, pengamat valuta asing (Valas) dari PT Samuel Sacurities, Lana Seolistianingsih memproyeksikan nilai tukar rupiah terhadap dolar akan berada pada level Rp9.800-9.900 per USD pada beberapa pekan kedepan.

Perbaikan kondisi rupiah ini, dipandangnya tidak akan terjadi dalam waktu singkat bila BI tidak segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan intervensi terhadap rupiah.

Selain itu, devisitnya neraca perdagangan juga turut menyumbang pelemahan yang terjadi, bahkan rupiah hampir tidak punya kekuatan untuk berbalik arah dan memperbaiki kondisinya.

"Neraca perdagangan devisit semakin dalam. Selain itu, permintaan dolar juga semakin tinggi mengingat kinerja ekspor yang menurun sementara impor masih tercatat cukup tinggi," ujar Soni.

HARIAN PELITA

Dampak Pelemahan Rupiah, Subsidi Listrik Harus Dinaikkan

Jumat, 31 Mei 2013  |http://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a-.pnghttp://harian-pelita.pelitaonline.com/images/a+.png
Jakarta, Pelita
     Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menilai, besaran subsidi listrik pada APBN-Perubahan (APBN-P) 2013 harus disesuaikan karena melemahnya nilai tukar rupiah.
     "Karena melemahnya kurs. Kurs yang di APBN sebesar Rp9.300 per dolar AS, sekarang diperkirakan akan Rp9.600 per dolar AS, ini berpengaruh besar terhadap subsidi listrik," jelas Jero  dalam rapat kerja pembahasan asumsi dasar subsidi listrik dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Kamis (30/5) malam.
     Dia mengatakan, jumlah subsidi listrik tahun berjalan pada RAPBN-P 2013 diusulkan sebesar Rp87,24 triliun ditambah dengan kekurangan subsidi listrik tahun-tahun sebelumnya sejumlah Rp12,74 triliun sehingga totalnya mencapai Rp99,98 triliun.
     Hal lain yang mempengaruhi kenaikan subsidi listrik adalah perubahan patokan harga minyak mentah dunia dari 100 dolar AS per barel menjadi 108 dolar AS per barel yang telah ditetapkan DPR pada raker sebelumnya.
     Menurut Jero, pelemahan rupiah dan meningkatnya harga minyak mentah dunia merupakan faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan pemerintah. Melemahnya rupiah dan ICP lebih disebabkan faktor eksternal di luar kontrol pemerintah.
     Meningkatnya konsumsi listrik dari 182,3 terra watt hour menjadi 187,7 TWH yang disebabkan oleh meningkatnya perekonomian Indonesia, sehingga menambah jumlah masyarakat kelas menengah.
     "Utamanya disebabkan kalangan menengah yang semakin meningkat. Mereka banyak yang membeli AC, TV, kulkas, telepon yang tentunya menyedot listrik," katanya.
     Jero memaparkan dalam RAPBN-P, pihaknya mengusulkan peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik dari Rp1.163 per KWH menjadi Rp1.198 per KWH.
     Sementara parameter lainnya relatif tetap yakni energi listrik yang susut sebesar 8,5 persen, keuntungan 7 persen dan tarif tenaga listrik Rp813 per KWH.
     Secara terpisah, Menteri Keuangan (Menkeu) Muhammad Chatib Basri mengklaim rupiah bakal menguat jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, kenaikan harga BBM, sangat penting untuk menjaga fiskal, saat ini subsidi BBM akan menembus Rp300 triliun.
     "Memang BBM naik tekanan migas bakal turun, tapi membuat rupiah lebih kuat," kata  Chatib. Sedangkan, dalam pergerakannya, rupiah berada di Rp9.804 per dolar AS dan kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot valas antarbank sehari sebelumnya, ditutup stagnan di level 9.800/9.810 per dolar AS.
     Ke depan kenaikan harga BBM itu sangat penting karena untuk menjaga fiskal. Apalagi, sekarang subsidi BBM sudah menembus angka Rp300 triliun.
                                             Keadilan
     Lebih lanjut Chatib mengatakan, kenaikan ini justru sebagai bentuk keadilan bagi rakyat miskin. Sebabnya selama ini, masyarakat miskin tidak menikmati subsidi BBM, malahan hanya orang kaya saja yang menikmatinya. Kenaikan BBM penting dari sisi keadilan dan dari sisi fiskal.
     Bilamana harga BBM tidak dinaikkan, maka akan terjadi disparitas harga. Kondisi ini, menyebabkan masyarakat tidak akan beralih ke BBM alternatif.
     Sebab mereka enggan membeli BBM alternatif yang tentunya harga lebih mahal. "Karena ada disparitas harga konsumsi lebih, kalau ada program energi, ngapain pindah ke barang lain," tegasnya.
     Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo menambahka, perbedaan harga karena adanya signifikansi konsumsi yang terbilang cukup besar pada BBM subsidi jenis premium. Apalagi banyak kendaraan roda empat pribadi yang lebih memprioritaskan pengisian bahan bakar dengan premium.
     "Jelas kendaraan pribadi lebih banyak konsumsi BBM bersubsidi. Itu yang menjadi alasan kami menetapkan perbedaan harga tersebut," ujarnya.
     Mengenai kenaikan BBM subsidi jenis solar yang terbilang rendah, Susilo mengklaim konsumsi jenis bahan bakar tersebut untuk mendorong kegiatan ekonomi nasional.
     "Kita tahu hampir keseluruhan konsumsi BBM subsidi solar dipakai angkutan transportasi untuk sektor industri. Yang pakai solar itu truk-truk industri. Itu menunjang ekonomi kita. Jadi naiknya juga tidak seperti premium," tuturnya. (oto)
- See more at: http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/05/31/dampak-pelemahan-rupiah-subsidi-listrik-harus-dinaikkan#.Ub2482eVVI0










Sekian Resume dari saya,mohon maaf jika mungkin ada ketidak sesuaian baik antara tema,judul atau isi.

“”””TAMAT””””
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar